Posted in Keluarga, Refleksi Kehidupan, Seputar Pernikahan

Mengapa Menikah?

Mengapa Menikah?

Jangan menikah jika belum tahu apa tujuanmu menikah. Maka jangan menikah hanya karena alasan-alasan berikut:

  • sudah cukup usia. Cukup usia itu berapa, 20, 30, 40, 50 tahun. Kalau memang belum ada yang kena di hati.
  • sudah lama pacaran. Lama itu berapa, 5, 10 tahun. Nah kalau ketemunya aja 6 bulan sekali. Atau seminggu sekali ketemu, tetapi tak sempat sharing hidup dan kehidupan.
  • sudah hamil duluan. Kalau hamilnya karena kecelakaan? Atau karena dihamili demi mengikat?
  • kemauan orangtua. Lah yang mau menjalani kan Anda bukan orangtua.
  • daripada berbuat dosa, kumpul kebo tanpa menikah. Niat sesungguhnya bagaimana mau berkomitmen atau cari nikmat tapi hindari ikatan.
  • malu dilihat orang. Kok malu itu apa yang Anda lakukan?
  • takut digerebeg, dll

Artinya, keputusan untuk menikah adalah keputusan yang konsekuensinya melibatkan banyak pihak, bahkan banyak nyawa dan bahkan masyarakat juga. Dari segi waktu, dampak pernikahan akan berlangsung bahkan berkelanjutan dalam waktu. Lalu bagaimana sebaiknya?

 

Tujuan Menikah

Tujuan utama pernikahan sebenarnya adalah prokreasi. Yakni untuk berketurunan, beranak cucu. Untuk apa? bukan untuk menambah penduduk dunia, atau memperbanyak pengikut. Yang utama adalah untuk memenuhi panggilan Tuhan melanjutkan karya penciptaanNya, melahirkan manusia baru. Dan dengan itu membahagiakan dirinya, pasangannya dan juga anak keturunannya. Dalam bahasa entrepreneur, menikah adalah jalan untuk menambah nilai kebaikan pada manusia dan dunia ini. Jadi awal dan akhirnya adalah dari dan menuju ke Sang Sumber Cinta, Sang Sumber Hidup ini, Allah sendiri. Sebab hanya cinta lah yang dapat menciptakan. Kalau demikian, pernikahan itu bukan urusan dua pribadi yang mau menikah, bahkan lebih daripada urusan dua keluarga. Menikah itu urusan Tuhan dan insan, pribadi maupun komunitas/masyarakat. Itulah sebabnya, pernikahan harus dinyatakan secara publik. Masyarakat tahu peristiwanya, tahu pula konsekuensinya. Dalam arti ini pernikahan diam-diam bukanlah pernikahan sesungguhnya. Itu pula sebab Gereja tidak mengenal pernikahan kontrak.

 

Konsekuensi atau konklusinya?

Pacaran itu tak harus memuncak ke pernikahan. Sebab hakikat pacaran adalah untuk lebih mengenal dirinya dan menguji kesiapannya untuk menikah. Pada awal pacaran, sebenarnya kehadiran pacaran lebih bagai cermin. Cermin yang diharapkan sanggup memantulkan gambar yang asli, apa adanya tanpa topeng atau polesan hanya agar diterima oleh dunia. Perkembangan selanjutnya diharapkan dengan pacaran orang berani jujur, asli melihat dirinya. Dan karena yang bercermin dan „cermin“nya adalah pribadi, maka mestinya terjadi dialektika. Keduanya akan tumbuh dan berkembang dalam keaslian masing-masing. Kalau ternyata proses pacaran berkembang membawa dan mengangkat keduanya menjadi makin bahagia, juga setelah keasliannya terbuka, itu tanda bahwa sebaiknya diproses ke arah pernikahan. Sebaliknya, jika ketika pacaran, sudah jelas, tak mudah untuk menjadi asli alias tidak nyaman, ya pisah aja secara baik-baik. Memang bisa terjadi, salah satunya keberatan. Tapi katakan saja, kalau memang jodoh, pasti ketemu lagi. Jajagi dulu dengan pacara atau pribadi yang lain. Siapa tahu dengan komparasi, justru menjadi makin yakin akan pilihan hatinya.

Kecuali itu, dalam dan sejak masa pacaran, yang sudah menjurus ke arah pernikahan, Tuhan mesti dilibatkan. Tujuannya agar pernikahan nantinya tidak hanya didasarkan pada keyakinan insan, tetapi juga diyakini bahwa Tuhan sendiri yang menghendaki pernikahan tersebut. Kalau kedua calon pasutri sungguh yakin bahwa Tuhan sendiri yang mempertemukan, yang menghendaki keduanya bersatu menjadi suami istri untuk diserahi tugas pengutusan demi prokreasi atau pro bono mundi (demi kebaikan dunia), maka akan kokohlah keluarga yang dibangunnya.

Artinya, ketika ada tantangan dan gesekan dalam berkeluarga nanti, tak akan dilihat sebagai undangan untuk perceraian, melainkan sebagai ujian untuk pengutusan lebih lanjut. Kesulitan tidak akan sebagai masalah melainkan sebagai berkah, untuk dirinya, keluarganya bahkan untuk dunia seluruhnya. Karena itu keluarga yang dibangun berdasarkan cinta dan iman, selalu punya harapan akan kasih dan penyelenggaran ilahinya. Cobaan pun kesulitan adalah undangan untuk lebih beriman dan makin bertaut pada Tuhan yang memanggil dan mengutus mereka berdua, dan mereka sekeluarga.

Semoga dapat bermanfaat

Tuhan memberkati

 

 

Posted in Refleksi Kehidupan, Seputar Pernikahan

Takut malu, bukan alasan untuk mantu

Takut malu, bukan alasan untuk mantu

Sebetulnya keputusan apapun tak boleh didasarkan pada rasa takut. Bukan karena tidak rasional, tetapi karena seringkali ketakutan tersebut tidak nyata. Minimal belum menjadi kenyataan. Kalau bukan kenyataan dan itu dijadikan alasan atau pertimbangan untuk mengambil keputusan, tentu keputusan tersebut sulit dipertanggungjawabkan.

Setiap orang pasti punya rasa takut. Ada ketakutan yang masuk akal, ada pula yang tak masuk akal. Tetapi yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku kita manusia adalah ketakutan akan bayangan sendiri. Contoh ketakutan demikian adalah “takut akan kata orang”. Mungkin Anda pernah atau sedang mengalami takut kata orang juga. Misalnya: Kalau gak naik kelas bagaimana? (kata orang nanti?). Kalau sudah pacaran gak jagi menikah bagaimana? Kalau dibilang „gak laku“ bagaimana? Kalau hamil tapi tidak menikah bagaimana? Kalau mantunya beda agama bagaimana? Sudah tanya harga, kalau gak jadi beli bagaimana?dlsb.  Demikian dapat dibayangkan, apa yang terjadi bila keputusan diambil berdasarkan ketakutan apa kata orang. Sayangnya, banyak orang jadi kurban akibat keputusan yang diambil berdasarkan ketakutan semacam ini. Banyak kasus pernikahan tidak bahagia, bahkan gagal atau bubar keluarganya adalah akibat dari keputusan yang diambil berdasarkan ketakutan tersebut. Itu yang terjadi ketika orangtua takut apa kata orang, betapa malunya kalau anaknya hamil tanpa suami. Akibatnya, orangtua atau keluarga „mendesak“, -kalau  tak boleh dikatakan- „memaksa“ anaknya untuk menikah, hanya karena sudah terlanjur hamil duluan. Itu yang saya sebut mantu karena takut malu.

Takut malu bisa dialami oleh orangtua atau orang muda. Seperti misalnya, anaknya sudah usia kok belum menikah. Atau sudah berkali pacaran tetapi tak satu pun yang sampai ke jenjang pernikahan. Ada juga sudah terlanjur menyebar undangan, jadi pernikahan tidak mungkin dibatalkan. Atau sudah ada rembug jadi antara kedua keluarga, maka pernikahan harus dilangsungkan. Itu semua adalah mantu karena takut malu.

Yang takut malu tidak hanya orangtua tapi juga orang muda. Misalnya, karena sudah terlanjur, kehilangan keperawanan, maka harus menikah dengannya. Atau sudah diketahui banyak orang bahwa sudah lama pacaran dengan A, maka juga harus menikah dengan A pula. Atau sudah pernah berhutang budi, maka mau tidak mau juga harus menikah dengannya.

Demikianlah, kalau untuk keputusan membeli barang aja tak boleh dilakukan hanya karena takut bayangan, takut apa kata orang nantinya kalau…. Apalagi kalau keputusan itu menyangkut masa depan anak cucu nya sendiri, tentu sebaiknya dihindari. Mulai hari ini jangan lagi terjadi, karena akan nambah kurban lagi.

Sebetulnya, kecuali alasan lemahnya dasar keputusan di atas, masih ada satu alasan lagi. Yakni keputusan yang demikian, sebenarnya didasarkan pada alasan ego-ku. Di mana kan kutaruh mukaku nanti? Jadi bukan di mana atau bagaimana dia, bagaimana nasib orang yang kucintai itu nantinya?  Intinya, jangan sampai terjadi kita takut akan kata orang, tetapi malah tidak takut apa kata Tuhan padaku? Dapatkah saya mempertanggungjawabkan keputusanku kepada Tuhan ketika demi diriku, orang-orang yang kucintai jadi kurban egoismeku? Semoga jangan terjadi lagi.

Posted in Keluarga, Refleksi Kehidupan, Seputar Pernikahan

Membangun keluarga berdasarkan iman

Membangun keluarga berdasarkan iman

Bolehkah kubertanya: Pasanganmu, itu pilihanmu atau pilihan Tuhan? Yakinkah dirimu bahwa pasanganmu adalah pribadi  pilihan Tuhan untukmu? Sebelum memutuskan untuk menikah dengan pasanganmu sebaiknya sudah punya jawaban atas pertanyaan tersebut di atas. Bahkan kalau sudah menikah pun, menjawab pertanyaan tersebut senantiasa perlu diulang dan diperbarui terus menerus.

Anugerah Tuhan yang paling besar adalah cinta. Cinta sejati itu memberi kebebasan dan membebaskan. Karena Tuhan mencintai kita, maka Ia memberi kebebasan kepada kita. Termasuk kebebasan untuk memilih panggilan hidup kita, kebebasan untuk memilih pasangan hidup kita. Justru karena dasarnya adalah cinta, maka membangun keluarga dengan pasangan mesti kita kembalikan ke dasar tersebut: cinta. Cinta tersebut diuji lewat ruang dan waktu dalam proses berpacaran. Jika yakin bahwa relasimu tak  makin membebaskanmu, maka segera saja putuskan untuk menjalin cinta dengan pacar, cintawan dan cintawati lain. Mungkin ia bukan jodohmu, ia bukan pilihan Tuhan untukmu.

Sebagai orang beriman, kecuali mendasarkan pada cinta, untuk membangun keluarga juga harus dilandasi dengan iman. Iman dalam arti yang paling sederhana: percaya bahwa Tuhan sendirilah yang telah memilih pasanganmu untukmu. Dengan demikian, dasar hidup keluargamu akan lebih kokoh dan abadi. Yakni bila pasanganmu bukan saja orang pilihanmu sendiri, tetapi justru pribadi yang dipilihkan Tuhan untukmu. Pertanyaannya, bagaima kita tahu bahwa pasangan kita adalah pilihan Tuhan bukan hanya pilihan kita semata?

Secara teoritis, kita memang harus membiasakan berelasi, berdialog dengan Tuhan dalam hidup harian kita. Dengan bahasa lain kita perlu melibatkan Tuhan dalam hidup kita. Ini memang lebih daripada doa. Tetapi suatu upaya terus menerus untuk menghadirkan Tuhan dalam segala yang kita alami. Demikian sehingga Tuhan tidak lagi berada, atau kita posisikan jauh tinggi di luar jangkauan kita. Tuhan kita orang beriman Kristiani adalah Tuhan yang transenden (mengatasi  kemanusiaan kita) tetapi sekaligus Tuhan yang immanent (tinggal di antara kita). Kita orang Kristen memang beruntung, sebab Tuhan pernah menjadi manusia, sehingga kita dan Dia pun punya bahasa dan kata yang sama dengan kita: bahasa manusia. Maka tidak perlu ragu untuk mengajak Tuhan bicara dengan bahasa kita sebagai manusia. Wajarlah jika kita bertanya “Tuhan benarkah dia jodohku? Kalau benar kasih tanda yang jelas.” Misalnya: “dia akan datang dan duduk di sampingku serta berdoa bersamaku”. Bahkan kita boleh minta tanda yang nampaknya tak masuk akal. Misalnya: “kalau benar dia jodohku, dia akan menelpunku dalam waktu kurang dari sejam dari saat ini”. Dan lain tanda yang boleh kita buat sendiri, biar Tuhan menjawabmu. Tanda-tanda semacam itu boleh dan dapat dibuat berulang-ulang untuk meyakinkanmu. Semakin tak masuk akal tanda yang kauminta, berarti semakin besar nilai tandaNya. Jika di musim hujan minta tanda hujan, dan benar turun hujan. Itu mungkin masih dapat dianggap kebetulan. Tapi kalau di musim kemarau, minta hujan sebagai tandanya, Nah kalau benar hujan, masihkah itu mau disebut kebetulan? Meminta tanda model begini bukanlah bentuk ketidakpercayaan, atau kurang beriman, melainkan justru untuk menambah keyakinan iman kita. Maka bila dua atau tiga kali tanda memberikan jawaban positif, cukuplah itu untuk membuat kita yakin bahwa dia itu memang sungguh pilihanNya. Bila sudah  benar bahwa dia memang pasangan pilihan Tuhan untukku, ya jangan berani-berani menyangkalnya. Apalagi punya ide untuk menceraikannya, kalau gak mau “celaka” hidupmu.

Kalau cinta dan iman sudah kita miliki, tinggal satu yang harus kita tumbuhkan yaitu harapan. Harapan bahwa Tuhan sendiri yang akan menyempurnakan bangunan keluarga kita selanjutnya. Doa kita adalah: Biarlah Tuhan sendiri yang mengubah air cinta kita menjadi anggur cinta karena Dia. Itulah mukjijatNya. Dan mukjijatNya akan kita alami setiap saat dalam hidup kita sebagai keluarga yang sesuai dengan kehendakNya.

Posted in Keluarga, Refleksi Kehidupan

Kehamilan bukan alasan untuk menikah

Menikah, dalam Gereja Katolik, adalah komitmen untuk saling mencinta, sehidup semati. Menikah sekali sampai mati. Tidak ada perceraian, tidak ada ruang untuk istri/suami kedua. Oleh karena itu keputusan untuk menikah mesti didasarkan pada alasan kokoh dan sungguh mendasar. Menikah harus karena cinta, bukan karena alasan lain.

Cinta itu bukan emosi sesaat. Cinta itu harus diuji dalam hidup. Itu hanya mungkin jika terjadi relasi sejati selama pacaran. Relasi sejati adalah relasi asli. Termasuk di dalamnya proses putus sambung selama jalinan cinta dirajut lewat relasi. Semakin lama, relasi harus makin mendalam, alias makin menyatu. Makin hari makin terbuka, tak ada yang ditutup-tutupi lagi. Dan itu tidak akan selesai, selama orang berpacaran. Itulah sebabnya intensitas relasi akan membantu untuk mengukur kesiapan seseorang untuk berkeluarga. Waktu memang akan membantu, tetapi lamanya waktu pacaran juga bukan ukuran, sebab setahun tetapi tiap hari ketemu, tentu lebih baik dari lima tahun pacaran, tetapi ketemunya cuma sebulan sekali.

Relasi seksual, atau hubungan seks, bukan ukuran bahwa relasi pasangan sudah mendalam apalagi mengakar. Sebab pesona seseorang dapat saja terjadi bahwa relasi seksual sudah berlangsung di bulan atau bahkan minggu pertama pacaran. Itu bisa terjadi pada orang muda yang kurang pengalaman, atau pun orang yang sudah berpengalaman pacaran sekalipun. Relasi seksual berpotensi terjadi kehamilan. Tak peduli apakah keduanya sebenarnya sudah siap untuk menikah atau belum. Tak peduli apakah kedua sebenarnya sudah terbukti saling cinta atau belum. Dalam kasus seperti ini, sudah pasti kehamilan bukan alasan untuk menikah. Maka jangan menikah hanya karena sudah terlanjur hamil. Apalagi, jangan menikah hanya karena sudah sering berhubungan seks dengannya.

Masalahnya, kehamilan itu tidak dapat disembunyikan. Dan itu “dianggap memalukan” oleh masyarakat. Ditambah lagi orang Katolik tidak boleh menggugurkan kandung, maka satu-satunya yang dianggap sebagai jalan keluar adalah menikahkan anaknya yang sudah mengandung bakal cucunya. Sekali kalau belum terbukti, saling cinta dan siap untuk menjadi orangtua, alias siap untuk berkeluarga, jangan dinikahkan hanya karena sudah hamil duluan. Lalu jalan keluarnya?

Disayangi, ditemani sampai ia melahirkan. Kalau setelah melahirkan, satu atau dua tahun kemudian, mereka dapat membuktikan cintanya, barulah dinikahkan. Memang anak yang dilahirkan, nantinya akan mendapat akte lahir sebagai “anak seorang perempuan.”. Dengan cara itu, kalau terbukti sebaliknya, tidak ada cinta sungguhan, maka si ibu atau ayah, anak tersebut tetap berstatus bebas. Ini lebih baik daripada menikahkan mereka hanya karena hamil, dan kemudian terbukti bahwa mereka sebenarnya tidak saling cinta, lalu keluarga justru terancam atau malah memang bubar. Kalau sudah terlanjur menikah, dan tak dapat diceraikan, padahal keluarga juga tidak dapat dipertahankan, kurbannya lebih banyak: anak, cucu dan menantu, plus orang-orang yang mencintai mereka.

Jika sendiri tak sanggup menemani gadis yang hamil duluan, maka dapat menghubungi komunitas/yayasan yang siap mendampingi mereka. Ada kongregasi suster atau awam yang menjalankan pelayanan pendampingan gadis yang mengalami “kecelakaan” seperti tersebut di atas. Diantar saja ke mereka, lalu mereka akan melakukan pendampingan psikologis maupun rohani sampai anaknya dilahirkan.

Jadi, sekali lagi, jangan menikah hanya karena sudah hamil duluan. Kehamilan bukan alasan untuk menikah. Apalagi jangan menikah, hanya sudah sering atau pernah berhubungan seks dengan pasanganmu.

Posted in Refleksi Kehidupan

Ganti Pacar?

Bolehkah saya berganti pacar? Mungkin pertanyaan ini pernah atau masih ada di benakmu. Buat saya jawabnya jelas: boleh. Malah sebaiknya diniati untuk minimal sekali pernah ganti pacar sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah dengan pacarmu. Mengapa? Tujuan dari pacaran sebenarnya bukan untuk mencari jodoh. Pacaran lebih-lebih untuk belajar mencintai dan dicintai. Sebab sebagai manusia kita ini sering gagal dalam menilai diri. Ada yang negatif, artinya rendah diri, kurang percaya diri, merasa tidak pantas dicintai dlsb. Ada pula negatif sebaliknya. Merasa sudah sempurna sehingga merasa sudah baik, tak perlu usaha apa pun juga. Jadinya sombong dan tinggi hati, merasa tidak butuh orang lain. Sebaliknya yang sudah positif, yang sudah percaya diri (PD), pun kadang masih keliru menilai diri. Ketika orang pacaran, ia mendapat parner yang entah mengimbangi atau melengkapi. Dan karena ada dorongan atau tarikan “cinta” maka biasanya bisa jadi cermin diri. Orang pun dengan rela dan tanpa ragu membuka diri. Akibatnya, dalam berpacaran yang intensif maka sangat mungkin terjadi proses mawas diri, saling koreksi antar karakter diri bahkan terkait dengan visi dan misi hidupnya. Gampangnya, dalam berpacaran adalah biasa, malah semestinya proses pergesekan atau perbenturan serius. Di situlah kesempatan emasnya. Belajar mencintai. Baik mencintai pacar, tetapi terutama belajar mencintai diri pribadinya. Hanya ketika seseorang dalam menerima dirinya, kelebihan dan kekurangannya, maka langkah kedua menjadi mungkin: mencintai orang lain.

Berkomitmen untuk hidup saling mencintai sebagai suami istri menuntut sebagai syarat utamanya adalah bisa menerima dirinya, menerima pasangannya, tetapi juga sekaligus mengurbankan dirinya demi keutuhan dan pertumbuhan cinta keluarganya. Justru untuk itulah, kesempatan belajarnya ada pada masa pacaran. Oleh karena itu, berpacaran lebih dari satu orang akan lebih bernilai daripada pacaran dengan satu orang. Sebab perjumpaan dengan pribadi lain adalah anugerah, kekayaan dalam membangun pribadi dan kepribadian seseorang.

Dalam berpacaran, selama proses pacaran, pertanyaan ini harus setiap kali diajukan. Kalau nanti saya menikah dengan pacarku ini, apakah cinta ku tumbuh, cinta pacarku tumbuh, atau cinta kami berdua akan tumbuh dan berkembang? Kalau ada potensi tumbuh dan berkembangnya pribadiku, cintaku, lanjutkan proses. Jika jelas jelas cintaku, diriku, diri pacarmu justru tumbuh kerdil, atau malah mati, ya langsung putus aja baik-baik cari ganti pacar baru. Mulai jelajahi hutan cinta dan kehidupan yang baru, berharap dapat menemukan sumber air cinta dan kehidupan yang abadi.

Begitulah, berganti ganti pacar 10x pun silkan. Tetapi jangan pernah berpikir untuk berganti istri/suami, sekali pun!

Posted in Refleksi Kehidupan, Seputar Pernikahan

Nikah karena Dijodohkan

Judul di atas saya tulis karena saya ingin mengangkat kenyataan yang oleh banyak orang dicoba untuk disangkal. Disangkal sebab dianggap sah-sah saja, tanpa masalah. Nyatanya: menimbulkan masalah. Ada banyak pasangan pernikahan yang akhirnya menderita. Baik pasangan yang menjodohkan maupun yang dijodohkan. Kedua pihak menyesal setelah keluarga yang dibangun atas dasar “penjodohan” merana.

Apa yang terjadi?

Di jaman dulu, orang dijodohkan orangtua karena berbagai alasan. Misalnya, karena lingkup pergaulan orangtua jauh lebih luas daripada anaknya. Entah karena pekerjaan atau pergaulannya orangtua jaman dulu memang lebih luas dibandingkan anak-anaknya. Orangtua berdagang, sampai keluar desa, kota atau daerahnya. Sementara anak-anak tinggal di rumah, maka orangtua yang mencarikan pasangan, menjodohkan anaknya. Di masa sekarang situasi sudah terbalik. Pergaulan anak-anak justru lebih luas, -kadang lepas- daripada pergaulan orangtuanya.  

Di masa lalu orang dijodohkan untuk merekatkan persaudaraan. Orang tidak ingin persaudaraan yang ada terputus, maka diikat dengan menjodohkan anak mereka. Atau orangtua tidak ingin kehilangan harta, maka anak dijodohkan dengan anak dari keluarga kaya juga. Ada juga alasan menjodohkan anaknya karena untuk menutup malu orangtua. Misalnya takut dibilang anaknya “tidak laku”. Atau anak dijodohkan karena untuk membayar hutang, baik hutang budi, maupun hutang harta.

Di masa kini ternyata orang juga masih punya alasan untuk menjodohkan anaknya. Saya memang belum menghitung berapa banyak atau besarnya kasus pernikahan yang konsul ke saya, yang inti kasusnya berakar pada alasan “dijodohkan” oleh orangtua. Beberapa alasan saya coba rumuskan berikut ini.

  1. Untuk menutup malu orangtua.

Orangtua takut apa kata orang jika anaknya tidak sampai menikah, tidak jadi menikah, atau menikah dengan orang lain. Misalnya karena anaknya “kecelakaan” atau sudah hamil. Biasanya pihak orangtua perempuan akan mendesak anaknya untuk menikah dengan lelaki yang telah menghamilinya. Orangtua melihat “pernikahan” adalah jalan keluar satu-satunya untuk menyelamatkan anaknya, (dan terutama menyelamatkan mukanya). Apa yang salah dengan itu? Boleh dibilang tidak salah, cuma kurang bijaksana. Sebab pernikahan karena kehamilan, diputuskan berdasarkan ketakutan. Padahal pernikahan adalah keputusan sekali untuk seumur hidupnya. Maka ketakutan, apa pun, tak boleh dijadikan alasan untuk menikah. Lebih-lebih lagi, kehamilan pra nikah, belum pasti karena keduanya memang sudah saling cinta. Ada yang benar-benar kecelakaan, karena ketidaktahuan. Ada yang keburu nafsu, maka ditelan waktu. Yang jelas keduanya belum tentu siap menerima kenyataan kehamilannya. Atau belum siap untuk membangun keluarga, entah karena kemampuan financial ataupun mentalnya.

Kehamilan pranikah tidak perlu dinikahkan. Juga jangan digugurkan, atau dipaksakan untuk menggugurkan. Sebab kadang terjadi anak yang tidak berdaya justru diberi beban tambahan dengan ide pengguguran kandungan. Pengguguran adalah pembunuhan. Orangtua hanya perlu menerima, menemani anaknya menerima kenyataan sampai anak yang dikandungnya dilahirkan. Sementara itu sambil menunggu kelahiran, orangtua dapat melihat dan menilai bagaimana kesungguhan cinta mereka, kesiapan mereka untuk berkeluarga.

Orangtua takut kalau tidak jadi menikah, nanti keburu tua. Kebanyakan memang terjadi pada  anak perempuan, tetapi ada juga orangtua yang takut anak lelakinya keburu tua. Yang terakhir ini biasanya terjadi pada lelaki “anak mami”. Kalau pada anak perempuan, yang jadi “pratu” adalah karena anaknya cerdas dan tegas, sehingga tak ada cowok yang berani mendekat.  Atau karena orangtua yang teralalu banyak campur tangan pada pilihan anaknya. Pacar pertama ditolak, kedua ditolak, demikian seterusnya sampai waktunya ‘habis’ karena dimakan usia. Pada saat akhir, saat kritis seperti inilah biasa terjadinya upaya orangtua untuk menekan atau menjodohkan anaknya. Karena anak biasanya sudah terlanjur acuh, males, atau tidak mungkin mundur lagi, lalu se-ada-nya.  Kalau demikian, pernikahan yang dilangsungkan tidak cukup berdasarkan saling cinta, tetapi lebih berdasarkan ketakutannya.

Ada lagi yang dijodohkan karena demi menutup malu. Ini terjadi ketika orangtua yang taat beragama ditambah lagi kalau di lingkungan agamanya orangtua punya posisi terpandang. Misalnya karena berkali anaknya berpacaran dengan pasangan yang berbeda agama, maka begitu pacaran dengan pasangan yang seagama, lantas dengan segala daya diupayakan agar anaknya menikah segera. Kelihatannya motivasi ‚penjodohan‘ ini baik lagi mulia. Lantas apa yang kurang pas? Kelemahannya terletak pada siapa yang sebenarnya menghendaki pernikahan tersebut? Pernikahan demikian biasanya lebih untuk memenuhi harapan dan kemauan orangtua daripada kemauan yang menikah. Dan lagi asumsinya yang perlu diuji. Asumsi bahwa menikah dengan pasangan yang seagama pasti bahagia. Pengalaman mengajarkan bahwa yang boleh dijadikan dasar hidup berkeluarga adalah cinta dari keduanya, bukan agama dari keduanya. Bahkan ada yang sampai disertai dengan „ancaman“ dari orangtua pula.

  1. Tekanan psikologis

Saya sebut tekanan psikologis, sebab tidak ada kata-kata yang eksplisit diucapkan untuk menjodohkan anaknya. Tetapi, dari sikap dan raut muka anak merasa tertekan. Tekanan psikologis ini bisa macam-macam bentuknya. Ada yang setelah berproses pacaran, anaknya jadi ragu menikah, tapi   tidak cukup berani untuk membatalkan pernikahan sebab takut terjadi apa-apa pada orangtuanya. Konkret takut orangtuanya jatuh sakit atau malah meninggal karenanya. Ada yang sudah sampai pada kesimpulan bahwa sebaiknya diputus saja dan dibatalkan saja niat untuk menikahnya. Meskipun demikian, tidak enak, atau tidak tega untuk menyampaikan pada orangtuanya, sebab orangtuanya sudah terlanjur sayang sekali dengan pasangannya. Lalu apa yang keliru, bukankah cara demikian berarti menghormati atau menyayangi orangtua?

Kecuali bahwa hidup mati itu adalah kehendakNya, menikah karena alasan seperti  tersebut di atas tentu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab dasarnya lemah, labil, goyah, bahkan nol atau malah minus. Anaknya sendiri sudah ragu, atau bahkan pasti tidak ingin lanjut ke jenjang pernikahan, namun ‘dipaksakan’ untuk menikah.

Kesimpulan saya:

Karena alasan-alasan tersebut telah menyebabkan banyaknya pengajuan anulasi pernikahan. Lebih dari itu, nikah karena dijodohkan telah mengakibatkan suramnya masa depan kurbannya. Ada pula yang harus berakhir pada status “menikah“, tetapi tak ada suami/istrinya. Bahkan yang sampai ada anak yang dilahirkan, tetapi lantas menjadi yatim/piatu.

Oleh karena itu, saya menyarankan kepada semua pembaca yang kebetulan sedang mengalaminya, entah sebagai orangtua, atau sebagai anak untuk berani tegas menolak menikahkan/menikah berdasarkan alasan seperti saya tuliskan di atas. Sebab dasar untuk menikah sebaiknya dan semestinya hanya ada satu alasan: saling mencinta. Cinta itu bebas. Bebas dari, aneka tekanan atau paksaan. Bebas untuk menentukan pilihan yang akan dijadikan pasangannya seumur hidupnya. Menikah menurut Gereja Katolik berarti: satu dengan satu sekali sampai mati. Kalau sudah terlanjur menikah secara Katolik, artinya sudah tidak bisa dibatalkan. Kalau pun dalam kasus tertentu ada kemungkinan dibatalkan, namun prosesnya sulit dan berbelit. Apalagi kalau sampai sudah ada anak yang dilahirkannya, kurbannya lebih banyak lagi. masalahnya bukan lagi soal hukum, tetapi soal hidup dan kehidupan seorang manusia, anak atau cucunya sendiri.

Untuk yang muda, beranilah menyatakan prinsip dan keyakinanmu, juga kalau bertentangan dengan harapan bahkan tuntutan orangtuamu. Setelah 21 tahun, hukum telah melindungimu untuk menentukan jalan hidupmu sendiri.

Semoga dapat dimanfaatkan.

 

 

Posted in Seputar Pernikahan

Contoh Narasi Anulasi

Riwayat Cerita

Rumah Tangga Maria dan Yosef

 

 

 

Awal Pertemuan dengan Yosef

Perjalanan cerita dimulai sejak mei 2008, saat saya melihat sosoknya sebagai tetangga baru. Namanya Yosef. Perkenalan kami pun dimulai pada suatu sore saat kami saling duduk ramai-ramai di pelataran dekat rumah bersama para tetangga/teman yang lain. Mulai dari situ kami jadi sering ngobrol membicarakan hal-hal umum, mulai dari urusan kator hingga masalah pribadi. Berjalannya waktu, terdengar beberapa slentingan dari para teman yang biasa nongkrong bareng bahwa Yosef menaruh rasa kepada saya. Tadinya saya cuek, tidak menganggap slentingan itu sebagai sesuatu yang khusus. Namun lambat laun, semakin sering kami bertemu dan ngobrol, ternyata saya pun tidak dapat menutupi perasaan saya kalau saya juga menaruh hati padanya. Hingga akhirnya pada tanggal 12 Oktober 2008 sekitar pukul tiga dini hari (03.00 wib), saat saya dan dia juga bersama para tetangga tengah begadang bersama, Yosef menyatakan cintanya pada saya. Dan mulai saat itulah hubungan asmara kami terjadi.

 

Kemunculan Teror Mawar

Hubungan kami berjalan dengan begitu baik dan bahkan penuh dengan romansa. Hari-hari kami jalani dengan bahagia dan penuh kedamaian. Saya merasa begitu senang, dan merasa begitu beruntung bisa berkenalan dengannya. Namun hal-hal indah itu menjadi sedikit terusik pada saat sekitar bulan maret 2010 saya mendapatkan telepon maupun sms dari seorang perempuan yang tidak mau mengaku namanya. Awalnya dia mengaku sebagai teman lama saya. Namun saya curiga, karena dia tetap tidak mau menyebutkan namanya, tapi tidak saya tanggapi.

Sekitar bulan April 2010, kembali telepon saya berdering, dan kembali suara perempuan yang pernah mengaku sebagai teman lama saya itu terdengar. Kali ini perempuan itu mengaku sebagai orang tua calon murid sekolah   tempat saya bekerja. Perempuan itu menanyakan perihal pendaftaran masuk sekolah, padahal pada bulan itu pendaftaran sudah ditutup. Secara halus saya jelaskan mengenai pendaftaran yang sudah tutup dan sudah penuh, namun perempuan itu tetap teguh untuk datang ke sekolah dengan menanyakan denah jalan menuju ke sana. Hal itu membuat saya semakin curiga mengenai sosok perempuan itu. Dalam hati saya berpikir, mengapa tetap teguh ingin datang ke sekolah padahal tetap tidak akan bisa mendaftarkan anaknya?! Namun saya tidak dapat menolak untuk menjawab pertanyaannya karena itu berhubungamn dengan pekerjaan saya. Akhirnya saya berikan denah yang diminta perempuan itu.

Kecurigaan saya ternyata tidak salah. Siang hari pada sekitar bulan Juni 2010, ada seorang perempuan yang mendatangi tempat kerja saya. Dengan tanda tanya di hati, saya temui perempuan itu dan berkenalan dengannya. Perempuan itu memperkenalkan dirinya dengan nama Mawar. Yang membuat saya tiba-tiba menjadi sebal adalah karena perempuan bernama Mawar itu mengaku kenal Yosef karena mereka teman satu kantornya dan memiliki hubungan yang spesial dengannya. Siang itu saya menjadi sedikit geram, ditambah lagi pada saat Mawar menunjukkan foto-foto kemesraan mereka saat tengah ada acara kantor di Bali. saya kaget, dan merasa sedikit kecewa mengetahui hal-hal tersebut. Lalu Mawar pun dengan lugu mengatakan bahwa dia dan Yosef sudah bertindak tidak adil pada saya karena memiliki hubungan di belakang saya. Mawar juga sempat mengatakan pada saya bahwa dia sudah untuk memutuskan hubungannya dengan Yosef. Namun saat itu saya tidak ingin langsung percaya pada Mawar. Dengan perasaan marah yang coba saya tutupi, saya haturkan terima kasih kepada Mawar atas pengakuannya.

Pulang kantor, saya langsung mengkonfirmasikan kejadian siang tadi kepada Yosef. Saya tanyakan padanya mengenai sosok Mawar. Saya juga ceritakan pada Yosef bahwa siang tadi Mawar bertandang ke sekolah dan menunjukkan beberapa foto mesra mereka saat di Bali. Saya ceritakan juga pada Yosef bahwa Mawar juga mengaku bahwa dia dan Yosef memiliki hubungan yang spesial. Saat itu Yosef tidak mengelak bahwa dia memang memiliki hubungan dengan Mawar, namun Yosef mengelak bahwa mereka pernah jadian. Yosef bahkan berkata bahwa sebenarnya yang memutuskan hubungan adalah dia dan bukan Mawar. Pernyataan dari Yosef dan Mawar bertolak belakang mengenai siapa yang memutuskan hubungan. Yosef juga bercerita pada saya bahwa Mawar pernah meminta penegasan darinya mengenai siapa yang akan Yosef pilih sebagai pasangan. Yosef katakan pada saya bahwa saat itu dengan tegas dia menjawab, bahwa dia lebih memilih saya. Seketika itu juga Yosef meminta maaf pada saya dan memohon pada saya agar tetap menjalin tetap mempertahankan hubungan kami. Kamipun sepakat untuk tetap mempertahankan hubungan kami.

Berjalannya waktu, saya masih sering mendapat sms dari Mawar yang salah satunya berbunyi bahwa sebenarnya Yosef tidak bisa meninggalkan Mawar namun juga tidak bisa meninggalkan saya. Langsung saja saya konfirmasi kembali ke Yosef, dan Yosef dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dikatakan Mawar adalah kebohongan. Yosef melogikakan pada saya, jika benar Mawar yang memutuskan hubungan mereka, mengapa Mawar juga yang justru meneror orang-orang terdekat Yosef? Sebelumnya Yosef sempat bilang bahwa Ibu Yosef yang berdomisili di lain kota juga diteror oleh Mawar. Sms lain yang dikirim Mawar pada saya berupa ayat Alkitab, salah satu yang masih saya ingat adalah ayat pada kitab Matius 7:3 “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?”. Tapi sms-sms itu tidak saya hiraukan, dan tidak saya balas, karena saya lebih percaya pada Yosef. Satu hal yang saya minta dari Yosef setelah beberapa kejadian yang terjadi adalah agar Yosef tempat kerjanya, tidak lagi bergabung menjadi satu (1) team dengan Mawar. Yosef mengiyakan permintaan saya, dia bahkan bertanya pada saya semisal jika dia keluar saja dari kantornya bagaimana. Namun tidak saya ijinkan, karena saya anggap permasalahan yang terjadi hanyalah permasalahan biasa dan sudah saya anggap selesai.

Suatu saat, tanpa sengaja saat saya melihat facebook salah seorang teman Yosef, saya mendapati foto Yosef dan Mawar di tempat yang sama, sekalipun mereka berfoto dengan teman-teman kantor lainnya dan tidak hanya berdua saja. Saat saya tanyakan pada Yosef mengapa mereka masih satu team, dengan tegas mengatakan bahwa dia dan Mawar sudah tidak satu team lagi, namun saat tengah foto Mawar ikut foto dan Yosef tidak memiliki hak untuk melarangnya.

Lambat laun, setiap saya singgung mengenai Mawar, Yosef selalu berkilah bahwa dia tidak memiliki hubungan dengan Mawar maupun perempuan-perempuan lainnya. Sayapun berusaha untuk tetap percaya pada Yosef, dan berusaha untuk tidak terganggu dengan adanya Mawar. Kamipun akhirnya lebih berfokus untuk mempersiapkan pernikahan kami.

 

Agustus 2012. Sekitar dua minggu sebelum melangsungkan pernikahan, pukul 19.00 wib telepon rumah berdering, dan terdengar suara perempuan yang mengatakan bahwa Yosef tengah mabuk berat di Karaoke R, dan minta untuk dijemput. Namun saya tidak menjemputnya karena dilarang oleh Ibu saya. Untuk memastikan kebenaran dari informasi yang diberikan perempuan yang saya rasa adalah Mawar, maka saya coba untuk menelepon hp Yosef, dan ternyata yang mengangkat juga perempuan yang sama dengan yang tadi menelepon rumah. Perempuan yang saya rasa adalah Mawar itu.

Pukul 22.30 wib, Yosef pulang dengan aroma alkohol yang begitu menyengat. Langsung saya tanya dengan siapa dia tadi minum-minum. Yosef menjawab bahwa tadi temannya yang bernama Pak B tengah merayakan ulang tahun, dan di sana disediakan minuman keras. Yosef merasa tidak enak hati jika menolak ajakan untuk merayakan pesta itu, hingga akhirnya dia ikut minum-minum. Saat itu langsung saya katakan padanya bahwa tadi ada perempuan yang meneror rumah dengan mengatakan bahwa dia sedang mabuk berat dan minta untuk di jemput di Karaoke R. Langsung saya sebut nama Mawar sebagai perempuan yang tadi menelepon. Saat nama Mawar terucap, dengan tegas Yosef menyatakan bahwa tadi tidak ada Mawar di sana. Yang ada di sana hanya dia, Pak B dan Istrinya serta, Bd dan Yd. Yosef bilang bahwa dia mabuk berat dan sempat tertidur di sana, hingga dia tidak tahu siapa yang memegang hpnya. Yosef juga meminta saya untuk tidak mengurusi Mawar lagi.

“Udah nggak usah diurusin lagi, dia itu perempuan gila!”

Malam itu juga Ibu saya minta penegasan dari Yosef.

“Mas Yosef, ini kok ada kejadian seperti ini, jadi Mas Yosef maunya apa? Ini mumpung pernikahan belum terlaksana.”

Yosefpun menjawab,

“Tetap maju Bu, saya tetap mau nikah sama Maria.”

Seketika Ibu Yosef yang di Pekalongan malam itu juga menelepon juga meminta penegasan dari Yosef, dan Yosef menjawab sama dengan yang dikatakan pada Ibu saya. Sebelumnya Ibu Yosef dan Kakaknya juga sempat menelepon hp Yosef saat dia masih di Karaoke R, dan ternyata yang mengangkat juga perempuan tadi. Terjadilah cekcok antara Ibu Yosef, Kakaknya dan perempuan itu.

Setelah pembicaraan dengan kedua orang tua selesai, akhirnya tinggal kami berdua di ruangan. Kembali saya tanyakan dengan serius mengenai kelanjutan hubungan kami. Jawabannya tetap sama, dia tetap ingin menikah dengan saya.

“Mungkin aku memang brengsek, aku bajingan, tapi aku minta satu kesempatan satu kali lagi.” Begitu Yosef memohon kepada saya. Akhirnya saya memberinya kesempatan dan kami tetap sepakat untuk tetap menikah. Sejak saat itu, Yosef memutuskan untuk off sementara waktu dari pekerjaanya, dan fokus untuk mengurus pernikahan kami.

Hari Pernikahan

Tanggal 8 September 2012. Hari pernikahan kamipun akhirnya tiba. Pernikahan dimulai pukul 10.00 wib di Gereja. Romo yang memberkati pernikahan kami adalah Romo Yus.

 

Permulaan Keretakan Rumah Tangga

Pernikahan kami berjalan baik-baik saja dan tanpa ada masalah, hingga pada senin pagi tanggal 22 Oktober 2012 seperti biasa kami masing-masing bersiap-siap berangkat kerja. Namun pada siang hingga sore, perasaan/feeling saya merasa tidak enak dengan Yosef, seperti ada sesuatu yang tidak biasa padahal kami sedang tidak ada masalah apa-apa. Maka saya sms-an biasa dengan Yosef, hingga akhirnya saya iseng bertanya melalui sms itu, saya menanyakan:

“Sebenarnya kamu seneng nggak sih nikah? Kamu bahagia nggak sih?”

Lalu Yosef pun menjawab,

“Nanti aja kalau ketemu, masak tanya hal itu lewat sms?”

Dengan jawaban terakhirnya itu, perasaan saya menjadi bertambah tidak enak.

Sekitar pukul 17.00 wib,  saya telepon Yosef beberapa kali namun tidak dia angkat. Hingga saya telepon temannya yang bernama Bd, menanyakan keberadaan Yosef karena Yosef bilang bahwa dia ingin bertemu kliennya di Plasa S. Tapi kata Bd, Yosef tidak ada di tempat tsb., dan sejak tadi dia tidak melihat Yosef di sana. (Posisi Budi saat saya telepon sedang di Plasa tsb.)

 

Pengakuan Yosef

Sekitar pukul 20.30 wib, Yosef pulang, lalu saya tanyakan kembali tentang sms tadi.

Maria       : “Ehm, maksud jawaban sms-mu tadi apa ya?”

Yosef       : “Kamu kan tadi tanya apakah aku bahagia menikah? Ini jujur ya, sebenarnya

aku menikah itu bunuh diri.”

Maria       : “Hah, maksudnya?! Gara-gara Mawar?!”

Yosef       : “Iya.”

Maria       : “Terus kalau kamu cinta sama Mawar, kenapa kamu malah nikah sama aku?!”

Yosef       : “Aku nggak tahu!” (Dengan ekspresi seperti orang kebingungan)

Lalu saya desak lagi. Dan dia bilang,

Yosef       : “Aku menikah dengan kamu karena keluarga ini sudah sangat baik sama

aku.”

Kemudian saya bilang, agar masalah ini jangan ada orang lain yang tahu dulu, termasuk orang tua. Cukup kami berdua.

Sehari sesudahnya sikap Yosef mulai berubah menjadi dingin, menjawab seperlunya, banyak diam, sering pulang malam di atas jam 22.00 wib.

 

Kamis, 25 Oktober 2012. Ada perempuan yang menelepon saya yang mengaku teman Yosef dan Mawar, namun tidak mau menyebutkan identitas, mengatakan:

“Kami risih melihat hubungan Yosef dan Mawar yang sudah tidak layak. Masak Yosef belai-belai rambut Mawar di mobil dalam perjalanan kami dari ….”

Selain itu perempuan itu juga mengatakan:

“Kemarin senin Yosef mengantar Mawar ke … untuk membetulkan BB-nya Mawar yang rusak. Ke mana-mana Yosef dan Mawar itu selalu berdua.”

Kata perempuan itu, jika saya tidak percaya dengan perkataannya saya diminta untuk mengecek sendiri di daerah S dimana mereka sering meluangkan waktu berdua.

Lalu saya bilang pada perempuan itu:

“Ow, iya saya sudah tahu kok. Terima kasih.”

 

Beberapa hari kemudian, Yosef pulang ke orangtuanya karena Ibunya ingin berbicara dengannya mengenai masalah ini. Sekitar pukul 00.00 saya mendapat telepon dan sms dari nomor yang tidak saya kenal, yang isinya:

“Sekarang Yosef dan Mawar sedang ada di kota …, di daerah W dan G.”

Saya balas sms tersebut:

“Oya, terima kasih. Biarkan saja.”

 

Hari seninnya Ibu Yosef menelepon saya, mengatakan:

“Maaf, Ibu belum bisa menyelesaikan masalah kalian. Hatinya Yosef sudah seperti batu karang. Ibu tanya sama dia ‘kamu milih keluarga (Ibu dan Bapak yang sudah tua ini) atau perempuan nggak benar itu?”

Yosef langsung menjawab:

“Mawar!”

Ibunya merasa kecewa dan merasa bahwa ada yang aneh dengan Yosef, seakan Yosef bukan anak yang dilahirkannya.

 

Beberapa hari setelah percakapan kami di telepon itu, Ibu Yosef datang ke kotaku. Saya, Yosef, dan juga Ibunya awalnya ngobrol baik-baik, namun tiba-tiba Yosef mengatakan secara terus terang kalau dia saat ini memiliki dua wanita Maria dan Mawar, namun hatinya untuk Mawar. Cicin pernikahan yang dia kenakan pun juga dilepas. Saat saya tanya mengapa dilepas, Yosef menjawab “nggak apa-apa”, sayapun tidak dapat menjawab apa-apa lagi atas pernyataannya.

Beberapa hari kemudian, acara road show kantornya. Menurut informasi yang saya dapat, seharusnya dia berangkat hari selasa-minggu, namun Yosef pamit pada saya dari hari senin, dan hari minggu baru pulang. Selama seminggu pergi itu Yosef tidak pernah sms, dan jika saya sms tidak pernah dibalas. Bahkan Ibu Yosef, juga mengeluh sakit hati pada anaknya itu karena jika ditelepon Yosef selalu menjawab telepon dengan dingin.

Akhirnya pada hari minggu, Yosef pulang tapi dengan pakaian kosong. Ketika saya tanya dimana pakaiannya, dia menjawab bahwa pakaiannya ditinggal di kost. Lalu saya tanya lagi kenapa pakaiannya ditinggal di kost? Lalu jawabannya hanya ‘ya nggak apa-apa’. Sejak ngekost itu, Yosef jadi jarang pulang, dan sekalinya pulang dia membawa motornya Mawar, dan justru dengan sengaja berteleponan dengan Mawar di depan saya.

Sejak dia jarang pulang, saya tetap berusaha sms dia setiap hari, mengingatkannya untuk pulang, namun tidak pernah dibahas. Tapi pernah sekali pada tanggal 27 Januari 2013 dia sms saya untuk mengucapkan selamat ulang tahun pada saya.

 

Selasa, 21 Februari 2013, Yosef menyampaikan kabar pada saya bahwa Papahnya meninggal, dan akhirnya kami sekeluarga bertemu di rumah orangtuanya. Di sana ternyata Mawar juga datang.

 

Kamis, 28 Februari 2013. Pada saat acara 7 hari Papa Yosef, kami bertemu lagi  walaupun tidak berangkat bersama. Saya naik kereta, sementara Yosef naik motor. Di sana kami sempat ngobrol.

Maria       : “Salah aku apa?”

Yosef       : “Kamu nggak salah apa-apa, yang salah itu aku. Aku nggak bisa pulang ke

rumah lagi.”

Maria       : “Kamu kos sama siapa? Mawar?”

Yosef       : “Iya.”

Jawabannya sudah bisa saya tebak, sekalipun sebelumnya dia katakan pada saya bahwa dia ngekos sendiri.

Setelahnya saya coba untuk nasehati dia. Dia bilang ingin berubah menjadi baik, dan juga berjanji untuk pulang di hari Sabtu, ingin tidur di rumah. Saya juga sempat ajak dia untuk konsultasi ke Romo, tapi dia tidak mau karena katanya “aku nggak suka konsultasi gitu, kamu kan tahu aku tertutup.”. Akhirnya saya tidak memaksa dia untuk setuju dengan ajakan saya itu.

29 Februari 2013, ketika saya mau pulang, Yosef bersedia mengantar dengan naik motor. Akhirnya kami pulang bersama, dan dia mengantarkan saya sampai rumah, namun dia tidak mau menginap di rumah, dan justru berjanji pada saya untuk menginap di rumah pada hari sabtu. Namun janjinya itu ternyata tidak dia tepati, hari sabtu dia tidak pulang ke rumah. Saat saya sms, dia hanya membalas “nggak pulang”.

 

Permintaan Cerai

18 Maret 2013 sekitar pukul 22.00 wib, saya sms Yosef seperti kebiasaan setiap hari yang saya lakukan.

Maria       : Kapan mau pulang, katanya mau berubah? Masih ada kesempatan, GBU.

Yosef       : Nggak pulang! Aku minta cerai PN-nya! (PN: Pengadilan Negeri)

 

Maret-April 2013 sekitar pukul 14.30 wib, tiba-tiba Yosef sms.

Yosef       : Napa telepon?

Padahal saya tidak menelepon dia.

Maria       : Aku nggak nelepon kok, cuma sms.

Yosef       : Apa?

Maria       : Ya seperti biasa kan tiap hari aku selalu sms kamu di jam-jam yang sama.

Yosef       : Bosan! Sms sampah!

Maria       : Ya biarin aja tho, tapi suatu saat smsku bakalan jadi berkat.

Sebenarnya saya tidak tahu, apakah sms-sms itu balasan dari Yosef sendiri atau Mawar, karena sebelum-sebelumnya Yosef tidak pernah bicara kasar.

 

7 April 2013 siang sampai dengan Mei 2013.

Masih seperti biasa, saya sms dia, sekitar pukul 10.00 wib.

Yosef       : Nggak pulang selamanya!

Saya balas smsnya dengan nasehat-nasehat dan pertanyaan kapan dia akan pulang ke rumah. Saya tanya juga sampai kapan akan hidup seperti itu terus.

Yosef       : Mboh! Bentar lagi aku punya anak dengan Mawar!

Maria       : Oww ya? Wah, selamat ya!

Yosef       : Ya, serius!

Maria       : Ya, aku juga serius kok ngucapinnya!

 

Masih seperti sebelum-sebelumnya, saya kembali sms dia pada jam 10.00 wib.

Yosef       : Kamu tuh nggak punya harga diri!

Maria       : Hehehe, nggak kebalik tuh mbak?

Sengaja saya sebut dia ‘mbak’ karena saya curiga yang membalas sms adalah Mawar.

Yosef       : Tolong jangan sms lagi. Aku bukan banci, jadi jangan panggil aku mbak!

Maria       : Kalau kamu itu laki-laki, masak nggak bertanggung jawab gitu? Makanya

aku panggil kamu ‘mbak’.

Yosef       : Aku udah nitip uang sama Ibuku, ambil aja. Itu bukti tanggung jawabku.

Maria       : Eh, ini bukan masalah uang ya!

Yosef       : Uang di Ibuku ambil aja! Kurang apa lagi?

Maria       : Kamu itu udah bikin kecewa banyak orang. Kamu nggak kasihan sama

orang-orang yang tulus sama kamu. Kamu nggak tahu Ibu kamu tuh sedih.

Kamu satu-satunya anak laki-laki pegangan Ibu, kok kamu malah seperti itu?

Yosef       : Hubunganku sama Ibuku baik-baik saja, jangan sangkut pautkan!

Padahal sebelumnya Ibu Yosef pernah bilang bahwa sudah 1 bulan dia lost contact dengan Yosef.

Yosef       : Aku kan sudah bilang minta cerai PN! Asal kamu tahu, aku menikah karena

aku mau balas kebaikanmu.

Maria      : Ow, yo rapopo kebaikanku mbok bales koyok ngono. Yoh, tak trimane!

 

Kamis, 9 Mei 2013.

Setelah sms-sms itu, saya tidak pernah sms Yosef lagi. Namun tiba-tiba justru Yosef yang sms saya.

Yosef      : Maria, aku mau bikin akte buat anakku. Bisa tolongi?

Smsnya tidak saya balas.

 

Senin, 20 Mei 2013.

Saya sms Yosef mengucapkan selamat ulang tahun padanya, tapi tidak dia balas.

 

Minggu, 16 Juni 2013 sekitar pukul 07.52-08.50 wib, saya dan Yosef sms-an.

Maria      : Yosef yang baik hati, kamu sudah meninggalkan kewajibanmu sebagai kepala

rumah tangga. Nggak cuma sehari dua hari, tapi sudah berbulan-bulan, dan

aku sudah cukup sabar. Sekarang apa maumu? Apa yang kamu inginkan?

Terus-terusan lari dari tanggung jawabmu? Kalau kamu masih orang baik, ya

pulang. Kalau sudah nggak mau pulang ya ayo kita ditunggu Romo supaya

proses cepat selesai.

Yosef      : Sudah jelas ya, aku nggak bakal pulang lagi.

Maria      : Terus penyelesaiane piye?

Yosef      : Cerai tho ya!

Maria      : Cerai sing model kepiye? Lha kok ndisik ditanting kok ndadak gelem nikah?

Yosef      : Mau ngungkit masa lalu nggak bakal ada selesainya. Cerai secara negara.

Maria      : Lha terus nek secara negara, lha secara gerejane piye? Terus nek bar secara

negara iso, kowe arep kawin karo Mawar ngono? Yo ra iso to ya.

Yosef      : Lho, yang penting cerai negara sik.

Maria      : Terus nek bar cerai negara?

Yosef      : Yo wis to ya, selesai.

Maria      : Selesai gundulmu kuwi! Lha sing grejone piye?

Yosef      : Yang gereja ya diurus juga tho ya.

Maria      : Lha emang iso? Piye corone? Tak takon aku!

Yosef      : Lha maksudmu piye? Pertama kon nyelesaike, saiki ngomong ora iso. Nek ra

iso yo kon ngapake meneh?

Maria      : Kowe ki jane mudeng po ra je tak jak ngomong? Gek kae kowe tak takono

tak jak konsultasi ketemu Romo kowe wegah. Lha makane pertanyaanku

kowe ki piye le arep nyelesaike?

Yosef      : Yo takon Romo to nek meh cerai piye carane?!

Maria      : Yo wis to kono neng romo tekok carane piye!

Yosef      : Oke.

Maria      : Kowe arep tekok ning Romo sopo? Kowe kudu janjian sek karo Romone.

Yosef      : Y

 

Pada pukul 19.25 wib, saya kembali sms dia.

Maria      : Sekarang aku tanya sekali lagi, kami nikah itu cuma karena balas budi?

Namun sms saya itu tidak dia balas, dan sampai sekarang tidak pernah pulang dan tidak pernah memberi nafkah.

 

Catatan Tambahan:

Yosef pernah menunjukkan sms dari seseorang yang katanya dia juga tidak tahu dari siapa. Tapi intinya dia mengatakan kekagumannya pada Yosef karena cuek, cool, tapi perhatian dan ngajakin entertaining.

  • Awal saya melihat Mawar sekitar tahun 2009, waktu itu saya belum tahu namanya Mawar. Beberapa saat setelah Yosef kerja, Mawar pernah bertamu ke rumah bersama laki-laki bernama M. Layaknya tamu pada umumnya, saya buatkan dia minum tapi terus saya tinggal karena saya pikir itu urusan pekerjaan. Setelah Mawar datang ke sekolah pada Juni 2010, saya baru ingat kalau perempuan itu yang dulu pernah ke rumah saya.
  • Saat team Yosef ke Bali (P, H, T, L, Y, dan Mawar) menjemput dan mengantar pulang Yosef bersama-sama karena ke Bali naik mobil. Setelah pulang dari Bali, di kamera Yosef banyak foto-foto Mawar. Ada yang bersama-sama dengan satu team-nya, namun juga banyak foto Mawar yang sendirian. Saat saya tanya kok banyak foto-fotonya Mawar, Yosef hanya jawab “nggak usah curiga, itu hanya teman biasa.”
  • Saat di Bali Yosef setia dengan smsnya dan nanyain mau dibawain oleh-oleh apa. Mungkin ini wujud rasa bersalah atau menutupi atau cinta?

 

 

 

 

Posted in Hidup Beriman, Keluarga, Refleksi Iman, Refleksi Kehidupan, Seputar Pernikahan

Lagi, sebuah anulasi pernikahan

Berikut ini saya ceritakan kembali  kisah seorang Ibu muda dari negara tetangga kita. Atas seijin yang empunya kisah, saya upload di sini sebab, proses anulasinya sudah dikabulkan tgl  16 Februari  2017. Saya tidak mungkin memuat seluruh proses nya yang berlangsung sejak April 2016 sebab sebagian konsultasi kami lakukan melalui telepon. Berikut adalah pesan pribadinya:

“Romo, saya sungguh merasa lega, tanpa beban perasaan tidak karua. Saya tidak mau menyimpan dendam padanya. Saya siap membantu sesama yang menghadapi masalah serupa. Tentu, BUKAN untuk mendorong ke perceraian, atau anulasi pernikahannya, TAPI untuk menawarkan pemecahan masalah berdasarkan pengalaman saya. Hidup ini singkat, dan saya ingin hidup secara penuh. Saya bersyukur atas setiap kesempatan yang diberikan pada saya. Kalau ada seseorang yang ingin berbagi masalah dengan saya, silakan, dengan senang hati. Kalau per no telepon saya, Romo juga boleh memberikannya. “

Kisah lengkapnya demikian:

Shallom Romo,

Saya mengenali suami saya sekitar tahun 1996/1997. Dia cinta pertama saya. Saya mengaguminya. Aktifis gereja. Dia akrab dengan para suster. Saya melihatnya sebagai calon suami yang baik:  tidak minum alcohol, tidak merokok, tidak main  perempuan atau  judi. saya beda umur 12 tahun.

Dari awal hubungan kami tidak disenangi orang tua saya. Bapa tidak menyukainya sebab dia hanya mau menangnya sendiri (no compromise). Ibu punya  firasat negative: umurnya  lanjut kok belum menikah, mesti ada sesuatu yang tidak betul dengannya. Kebetulan kami bekerja di gedung  yang sama.

Saya dan suami menikah di gereja Katolik pada 2005.  Kursus pernikahan kami jalani tidak sepenuhnya, sebab sebagai aktifis Gereja, kami sudah dikenal. Mereka percaya saja pada kami.

Pernikahan kami langsungkan sebab  bapa mertua  saya ingin pulang ke Indonesia. Tiga  bulan sebelum nikah, kami ribut besar, karena calon suami cemburu dan emosian. Sebelumnya saya juga pernah dilempar dus pizza, karena calon suami cemburu dengan pastor. Ia cemburu juga  dengan kawan sekerja saya dll.

Teman-teman kerja menasihati saya  untuk memutuskan saja hubungan kami karena takut nanti setelah menikah akan semakin menjadi-jadi. Tapi saya teruskan juga karena bagi saya perkahwinan adalah keharusan setelah pacaran selama 8 tahun.

Karena calon  suami tidak mempunyai cukup uang untuk menikah, dia menyuruh saya meminjam uang di bank. Tidak ada orang yang tahu tentang masalah keuangan ini selain dia. Karena itu, sesudah menikah mempunyai anak bukanlah prioritas saya. Bagaimana kami akan memberi makan anak, sedang untuk makan sehari-hari kami hanya mampu makan mi  instan.

Setelah setahun lebih kami menikah, keluarganya mulai mempersoalkan kenapa saya tidak punya anak. Malahan ada yang mengatakan bahwa  saya patut diceraikan karena tidak punya anak. Setiap kali saya cerita tentang omongan keluarganya, oleh suami saya dianggap  tidak dewasa. Saya sampai merasa bahwa saya masuk ke keluarga itu untuk dihina, padahal  mereka tidak tahu kenyataan yang sebenarnya. Dengan seijin suami, setelah menikah, saya berhenti dari kerja di bank. Setelah  tidak kerja di bank, dia menjelek-jelekkan  keluarga saya. Sebab di sana jabatan saya sudah tinggi dan gaji saya lumayan.  Padahal saya tidak meminta duit darinya, malah sebaliknya saya yang selalu menjadi mesin ATMnya. Namun, saya tidak pernah mempersoalkan hal tersebut  sebab bagi saya senang susah kami jalani bersama dan duit dapat  dicari yang penting bahagia. Ibu saya juga tidak pernah menyampaikan apa-apa kepada saya sampai suami mengusir  saya pada November 2008.

Banyak hal dalam rumah tangga kami yang diceritakan suami kepada keluarganya: Misalnya, keluarganya  ke bank tempat saya bekerja dulu hanya untuk menjelek-jelekkan saya  ke kawan-kawan saya; keluarganya menelpon  kakak saya hanya untuk mempertanyakan ke mana saja larinya gaji saya; saya dibilang  tidak mau hamil, karena saya  ingin menjaga badan saya; saya suka berbelanja dengan kartu kredit; saya sudah menikah kok masih berhubungan dengan ibu bapa saya; saya membelikan macam-macam hadiah untuk keluarga saya. Saya yakin itu semua karena suami saya yang menceriterakan masalah kami ke keluarganya. Sebab sampai hal-hal kecil yang terjadi di rumah tangga kami, keluarganya tahu. Misalnya, saya membeli calculator sebagai hadiah ulangtahun  adik bungsu saya yang kebetulan akan menempuh ujian akhir. Setiap kali kami ke rumah ibu bapa saya, suami hanya menunggu di mobil. Dia tidak mau makan di rumah orangtua saya,  alasannya, saya tidak menjaga kehormatannya sebagai suami karena dengan begitu seakan suami tidak mampu memberi saya makan.

Sekitar bulan Mei 2008, hubungan kami menjadi semakin kritis.

Saya amat tertekan. Tekanan di tempat kerja, tekanan karena lilitan tekanan dari suami dan keluarganya. Saya tidak pernah menceritakan masalah keuangan kami, sebab saya malu. Syukurlah kawan lama saya bekerja di bank dulu sedia menalangi membayar hutang-hutang saya. Kredit mobil  telah saya bayar melalui pinjaman dari majikan saya. Saya mengikat perut supaya dapat melunaskan hutang pada majikan secepat mungkin.

Pada 28/11/2008, saya meminta izin untuk pergi dengan kawan perempuan, suami mengizinkan, tetapi membuntuti saya. Sementara teman saya menyelesaikan urusannya, saya menunggu di mobil. Melihat hal itu, suami lalu  pergi ke rumah ibu bapa saya dan menyuruh mereka mengambil saya dan mendidik  saya, karena dia merasa sudah tidak mampu mendidik saya. Saya dibilang -pacaran dalam mobi.. Lalu malam itu saya diusir  dengan kata- kata terakhir, “jangan harap kau boleh masuk ke rumah”;  rumah itu akan dipindah hak kepemilikannya  ke ayah mertua saya. Padahal rumah tersebut kami beli sendiri sebelum kami menikah Suami memerlukan saya kerana gaji saya lebih tinggi daripada gajinya. Setiap kali kami bertengkar, suami akan mengungkit ungkit soal mobil dan rumah.

Setelah diusir, saya mengambil keputusan kuliah jarak jauh  untuk mendapatkan gelar- bekerja sambil belajar. Kami hidup berjauhan.

Di penghujung 2013  saya mengajaknya membicarakan bagaimana kelanjutan hubungan kami: Saya disuruh  tinggal di rumah ibu bapa saya,  tetapi tidak akan ada penceraian.  Kami lanjutkan  kehidupan kami secara terpisah.

Awal 2014, tantenya menemui  ibu saya, katanya dia melihat ada perempuan di rumah kami.  Ibu saya  tidak memberitahu saya apa yang dikatakan tante tersebut.

July 2015, seorang kawan melihat suami dengan seorang wanita sedang membeli keperluan rumah tangga di mall pada waktu malam. Kawan itu membuntutinya, tetapi suami saya seperti ketakutan dan menghilag bersama wanitanya. Saya masih berfikiran positif: mungkin ia pergi dengan kawan sekerja. Kemudian tantenya mengulangi memberitahu ibu. Secara diam-diam saya menguping pembicaraan ibu dengan kakah lelaki saya. Ibu memintanya mengecek di apartment kami.  Lalu saya mendesak  ibu agar terus terang saja sama saya. Ketika ibu menceritakan tentang suami saya mungkin punya perempuan lain, saya 100% tidak percaya. Mungkin perempuan tersebut pembantunya. I know my husband better than anyone in this earth. Kemudian seorang teman lagi, memberitahu saya.

Dengan bantuan seorang kawan yang bekerja di kantor telekomunikasi, saya mendapakan data HP suami saya. Ada satu nombor yang mencurigakan. Nomer tersebut saya add ke whatsapp saya. Profile picture wanita itu sama dengan gambaran yang diberikan oleh kawan saya. Kemudian, saya cari ID nya. Saya lihat semua gambar-gambarnya dan melalui gambar itu saya mencari rumah perempuan itu. Saya buntuti  suami saya. Mulanya saya positive lagi, mungkin dia buat direct sales after work. Tapi kenapa mobil kami ada di rumah perempuan itu.   Bukan sehari tetapi berhari-hari. Saya positive lagi,  mungkin dia bersama suami saya mengikuti seminar Franciscan di gereja. Sungguh aku ini orang yang berdosa menuduh suamiku yang bukan-bukan.

Pada 21/08/15, saya buntuti lagi suami saya. Saya mengetuk pintu rumahnya wanita itu tetapi tidak dibuka. Saya telepon suami saya untuk menanyakan di mana dia, lalu dijawabnya “di rumah”. Saya minta dia membuka pintu rumah lantas dia matikan telefon. Saya whatsapp perempuan itu, meminta dia untuk menyuruh suami saya buka pintu karena polisi dalam perjalanan ke rumah itu. Suami saya lantas membuka pintu rumah dan mengatakan “aku ceraikan kau sekarang juga”. Pada ketika itu, saya tahu di manakah sebenarnya kedudukan saya di mata suami saya. Dia mengatakan bahwa saya ingin kawin lagi makanya dia juga punya wanita lain. Kemudian suami saya cepat- cepat pergi dengan mobilnya karena takut kena urusan polisi karena wanita itu.

Pada 24/08/15, suami menghendaki keluarga kami datang. Mereka melarang saya datang  ke keluarganya dan memutuskan untuk menceraikan saya. Alasannya, katanya  suami saya memang sepantasnya punya wanita lain kerana nafkah batinnya tidak terpenuhi.

Ketika saya mengambil barang- barang di rumah saya, saya menemukan baju dalam perempuan dan barang- barang perempuan itu dalam almari pakaian kami. Sejak saya kenal suami saya, katanya dia tidak biasa minum-minuman.  Tapi saya menemukan bon-bon pembelian minuman keras.

Urusan perceraian berlangsung hingga ke tahun 2016 ini karena mobil saya masih digunakannya dan rumah masih atas nama kami berdua. Beberapa kali saya ingin mendiskusikannya baik-baik, tapi suami justru menanggapinya dengan  sangat kasar, sampai akhirnya saya terpaksa membuat laporan polisi. Minggu lalu kami sudah menandatangi surat cerai.  Suami saya masih  meminta saya  agar rumah itu tidak dijual karena dia  malu katanya, kalau dia dikira terpaksa pindah dan mencari rumah lain. Dia minta memahaminya bahwa dia tinggal bersama  seorang perempuan di rumah itu.

Romo, sepanjang pernikahan kami, dia  tidak pernah  memihak  saya sebagai isteri. Tidak ada kata maaf atas perbuatannya. Di kalangan masyarakatnya di Indonesia, saya terkenal sebagai istri yang selingkuh, di lingkungan  rekan-rekan saya dikatakan bahwa saya diceraikan karena saya tidak mampu melahirkan anak. Di Gereja juga banyak  “hakim-hakim” bijaksana. Setiap kali saya ke gereja, mereka mulai berkata-kata.Tetapi begitu  saya  berjalan di hadapan mereka, mereka mulai diam atau  berbisik- bisik. Saya bisa gila kalau merasakan semua itu.  Suami saya masih aktif di gereja. Sedangkan saya selalu menjadi pihak yang jahat.

Romo,

Saya ingin move on. Perkara ini sungguh-sungguh eating me inside out. Walaupun di luaran saya nampak happy, tetapi hati saya tidak tenteram. Dalam case ini, bolehkah saya mengajukan  pembatalan perkahwinan saya ? Adakah saya mempunyai alasan kuat untuk pembatalan perkawinan ini?

Maria

Posted in Seputar Pernikahan

Hamil, tidak harus menikah!

Ada banyak pertanyaan tentang pernikahan yang saya terima. Yang menarik perhatian saya adalah kenyataan bahwa ada cukup banyak keluarga yang dibangun seraya menyimpan benih masalah di dalamnya. Sebut saja misalnya pernikahan yang dilangsungkan karena desakan waktu dan kenyataan sudah hamil duluan. Memang ada yang hamil duluan karena memang disengaja agar terpaksa dinikahkan. Ada ketakutan kalau tidak jadi menikah dengan pasangannya. Takut kehilangan calonnya, maka dihamili saja, sehingga pasti menikahnya. Ada juga yang karena ketidaktahuan, atau ketidaksabarannya, sehingga terjadilah kehamilan sebelum menikah. Tetapi sebetulnya mereka belum siap untuk menikah. Entah karena usia yang belum cukup, entah karena pengenalan satu sama lain yang belum tuntas. Akibatnya, atau masalahnya akan muncul di kemudian hari. Setelah mereka melewati masa indah, kala menikah dan menimang anak, mulailah muncul perbedaan dan pergesekan yang dengan mudah berubah menjadi masalah serius.

Seringkali, kehamilan sebelum menikah akan memaksa orangtua, atau para orangtua di kedua pihak, untuk berpikir praktis. Harus menikah, agar tidak bikin malu orangtua. Kalau sampai orang banyak, atau masyarakat tahu bahwa anaknya belum menikah kok sudah hamil, itu membuat orangtua malu sepanjang waktu. Atau wirang mbebarang. Orangtua demikian, tidak sempat berpikir ulang, atau berpikir panjang lagi. Pokoknya harus menikah segera. Benarkah atau haruskah menikah hanya karena kehamilan ?

Menurut saya kok tidak. Lalu harus bagaimana?

Pertama pihak keluarga pertama-tama harus menerima dulu kenyataan bahwa anak hamil atau menghamili pacarnya. Setelah menerima keluarga harus segera mengambil posisi menjadi teman dan menemani anak nya dan pacarnya. Sebab, mereka biasanya juga dan justru bingung, kok hamil… Harus dikatakan bahwa kehamilan tersebut mesti disyukuri, sebab itu anugerah. Faktanya juga banyak pasangan yang ingin punya anak, tetapi tidak atau belum mendapatkannya.

Pelan-pelan pihak keluarga mesti mengarahkan agar anak dan pasangannya sabar dulu. Tetap saling mencintai dan menjaga kehamilan serta merawat si bayi sejak sekarang sampai kelahiran bahwan ketika tumbuh semakin besar.  Sebaiknya kita tunggu minimal setahun lagi, syukur lebih lama lagi. Maksudnya kita akan melihat, apakah berjalannya waktu menambah cinta, atau mengaburkan cinta mereka berdua. Dengan demikian kita menempatkan si bayi menjadi kurban cinta. Mereka berdua sudah menjadi kurban (‘cinta’, kultur, rasa malu).Maka jangan sampai si bayi juga jadi kurban berikutnya. Kalau bayi dilahirkan nanti tetap dapat memperoleh akte lahir juga. Memang di aktenya akan dicatat sebagai:  ‘anak seorang perempuan’, bukan ‘anak bapak A dan ibu B.

Selama saya menjadi pastor, itulah yang saya lakukan. Saya sarankan demikian. Memang ada yang saya nikahkan juga, meskipun sudah hamil duluan. Mereka itu yang setelah saya adakan penyelidikan kanonik tidak saya temukan halangan untuk menikah. Artinya mereka sudah cukup siap untuk menikah, kendatipun dipercepat karena kehamilan pengantin perempuan. Misalnya karena pacarannya sudah lama, atau sudah berkali ingin melangsungkan pernikahan tetapi selalu tertunda karena misalnya adiknya terpaksa menikah duluan dll.

Seingat saya, sekali saya sungguh melawan keras, niat menikah sepasang orang muda,yang saya tahu persis baru 3 bulan pacaran, lantas minta saya nikahkan, karena sudah hamil duluan. Karena saya belum yakkin akan cinta mereka dan kesiapan mereka untuk berkeluarga, maka bersikeras tidak mau menikahkan mereka. Mereka pun ngotot meminta saya menikahkan mereka. Akhirnya saya ambil jalan tengah begini: Saya panggil ketua lingkungan, dan wakil umat dari lingkungan calon pengantin itu. Saya tanyai mereka, dan saya tantang mereka. Apakah bapak ibu sanggup mendampingi calon keluarga muda ini sehingga mereka tidak akan bubar di tengah jalan.? Setelah mereka semua menyatakan sanggup, saya minta mereka tanda tangan mereka. Tanda tangan mereka itu saya lampirkan dalam berkas kanonik calon pengantin tersebut. baru saya persiapkan pernikahan mereka. Puji Tuhan, sampai hari ini mereka hidup bahagia. Anaknya kini sudah 3 orang.

Tetapi, sekarang, ketika saya menerima banyak persoalan pernikahan, dan banyak juga yang tidak dapat didamaikan atau dipisahkan, apalagi dibatalkan karena pernikahan mereka sudah ratum et consumatum  sehingga hanya kematian yang dapat memisahkan mereka. Maka, saran dan usulan saya, kalau Anda sudah hamil duluan, atau anak Anda sudah hamil sebelum menikan, dan keduanya Katolik, atau salah satunya Katolik, harus sungguh dicek ulang kesiapan dan kematangan mereka untuk menikah dan berkeluarga. Bila ada tanda-tanda belum siap menikah, sebaiknya jangan dinikahkan dulu. Beri mereka waktu untuk menguji cintamereka lewatwaktu dan perjalanan hidup selanjutnya.

 

 

 

 

 

 

 

Posted in Refleksi Kehidupan

Pemutusan Ikatan Nikah ???

Pernikahan yang sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan, tidak dapat dipisahkan, kecuali oleh kematian. (Kitab Hukum Kanonik;-KHK 1141). Namun, dalam kenyataannya hidup berkeluarga memang tidak semudah diimpikan orang. Akibatnya ada banyak orang yang diam-diam atau menjerit tanpa kata, karena terbelenggu oleh keyakinan kaku -kalau tak boleh dikatakan- lugu. Sebab Gereja yang mengajarkan cinta tentu punya kemurahan. Seluruh kebijakan pastoral Gereja mengandung kemurahan tersebut.

Sayangnya, memang kemurahan hati Gereja itu tidak semua diketahui oleh umat.Sebab setiap kebijakan memang terikat pada kasus per kasus. Belum lagi bahwa kasusnya hampir selalu bersifat personal, maka juga tidak atau jarang dipublikasikan.

Lantas, apakah dimungkin adanya pemutusan ikatan nikah?

Berikut ini saya sampaikan beberapa alasan yang mengandung kemungkinan terjadinya pemutusan ikatan nikah.

  1. Perkawinan yang tidak disempurkan oleh persetubuhan dapat diputuskan ikatannya oleh Paus. (bdk. KHK 1142)
  2. Perkawinan antar dua orang tak dibabtis…diputuskan… demi iman yang menerima babtis. (bdk. KHK 1142 #1)
  3. Perkawinan antara dua orang tak dibabtis… diputuskan…. oleh kenyataan bahwa ia melangsungkan perkawinan baru, asal pihak yang tak dibabtis pergi. (bdk KHK 1142#1)
  4. Perkawinan antara dua orang tak dibabtis… diputuskan …. bila pihak tak dibabtis dianggap pergi, atau tak mau hidup bersama dengan pihak yang dibabtis…(bdk KHK 1142 #2)

Bagaimana aplikasi konkretnya tentu amat tergantung pada tafsiran atas kaidah tersebut. Untuk itulah Gereja punya team Tribunal, atau pengadilan Gereja.  Merekalah yang bertindak atas nama Gereja untuk mengambil keputusan apakah sebuah pernikahan dapat diputuskan ikatannya atau tidak. Sedangkan hak dan wewenang untuk membawa kasus pernikahan ke Tribunal Gerejani, diberikan kepada pastor paroki. Jadi umat hanya melalui pastor parokinya dapat mengajukan masalah pernikahannya.

Dengan demikian menjadi jelas juga bahwa pernikahan yang dilangsungkan dalam Gereja Katolik, tidak dikenai oleh nas atau kutipan  KHK di atas. Sebab pernikahan dalam Gereja Katolik mungkin dilangsungkan bila kedua pihak, atau salah satu pihak yang menikah adalah orang yang terbabtis Katolik. Jika tidak ada yang babtis Katolik, tentu tidak mungkin menikah di Gereja Katolik.

Demikian sedikit nukilan, semoga memberi sedikit inspirasi